Rabu, 15 Juni 2011

Treponema pallidum Penyebab Penyakit Sifilis


Treponema pallidum Penyebab Penyakit Sifilis

BAB I
PENDAHULUAN

Sifilis merupakan penyakit akibat bakteri Treponema yang prototype dan merupakan Treponematosis yang paling umum terjadi di Negara berkembang. Treponema pallidum menginfeksi hampir semua jaringan tubuh, mengakibatkan manifestasi klinik yang sangat bervariasi. Walaupun penularan nonveneral dapat terjadi, kebanyakan kasus sifilis tersebar melalui kontak seksual dalam bermacam-macam bentuk.  Treponema pallidum tidak dapat dibedakan dengan metode morfologi. Treponema pallidum tidak dapat ditumbuhkan in vitro, kenyataan tersebut menyebabkan membatasi penelitian organisme dan sindrome klinik yang disebabkannya.
Hal yang melatar belakangi penulis menyusun sebuah makalah dengan judul “Treponema pallidum penyebab penyakit sifilis”. Agar para tenaga teknis laboratorium mikrobiologi klinik serta para mahasiswa dari berbagai program studi kesehatan khususnya mahasiswa analis kesehatan dapat mengetahui penyebab penyakit sifilis, mengetahui patogenitas dari Treponema pallidum, memahami manifestasi klinik penyakit sifilis,dan memahami pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk menegakkan diagnosa penyakit sifilis.





BAB II
PEMBAHASAN

            Sifilis merupakan penyakit sistemik kompleks dengan berbagai manofestasi klinik yang disebabkan oleh Treponema pallidum. Penyakit ini paling sering ditularkan melalui kontak seksual, dan berbeda dengan penyakit infeksi lainnya. Sifilis jarang didiagnosis dengan mengisolasi dan mengenali organisme penyebabnya. Diagnosis ditegakkan dengan metode yang kurang peka, yaitu pemeriksaan mikroskop lapangan gelap direk dan berdasarkan temuan klinik, serologi, dan epidemiologi.
A.    Klasifikasi Treponema pallidum
Kerajaan: Eubacteria
Filum:
Spirochaetae
Kelas:
Spirochaetae
Ordo:
Spirochaetales
Famili:
Spirochaetaceae
Genus:
Treponema
Spesies: Treponema  pallidum
Treponema pallidum  merupakan bakteri yang motil (dapat bergerak), yang umumnya menginfeksi melalui kontak seksual langsung, masuk ke dalam tubuh inang melalui celah di antara sel epitel. Organisme ini juga dapat ditularkan kepada janin melalui jalur transplasental selama masa-masa akhir kehamilan. Struktur tubuhnya yang berupa heliks memungkinkan Treponema pallidum  bergerak dengan pola gerakan yang khas untuk bergerak di dalam medium kental seperti lendir (mucus). Dengan demikian organisme ini dapat mengakses sistem peredaran darah dan getah bening inang melalui jaringan dan membran mukosa. (Wikipedia)
Struktur bakteri Treponema pallidum identik dengan struktur Treponema secara umum, hanya kandungannya lebih jelas diketahui. Susunan Treponema pallidum (bobot kering) kira-kira adalah 70% protein, 20% lipid,dan 5% karbohidrat. Kandungan lipidnya relative tinggi untuk bakteri. Dari lipid total, 68% adalah fosfolipid (terutama fosfatidilkolin, sfingomiolin, serta kardiolipin) dan 32% merupakan lipid netral (terutama kolesterol).

B.     Patogenesis
Manusia merupakan hospes alami satu-satunya bagi Treponema pallidum, dan infeksi terjadi melalui kontak seksual. Organisme ini menembus mukosa atau masuk melalui kulit yang mempunyai luka kecil. Setelah berada di dalam hospes, organisme tersebut akan memperbanyak diri.
Treponema pallidum segera memasuki aliran darah dan pembuluh limfe dan menyebar ke jaringan lain. Jaringan yang menjadi sasaran meliputi kelenjar limfe, kulit, selaput mukosa, hati, limpa, ginjal, jantung, tulang, mata, selaput otak, dan susunan syaraf pusat. Pada wanita, lesi awal biasanya terdapat pada labia, dinding vagina, atau pada serviks. Pada pria, lesi awal terdapat pada batang penis atau glans penis. Lesi primer dapat pula terjadi pada bibir, lidah, tonsil, atau daerah kulit lainnya.
Setelah menembus aliran darah secara specifik Treponema pallidum menambatkan diri pada sejumlah besar jaringan. Selain menambatkan diri, Treponema pallidum memiliki sedikitnya 3 faktor virulensi yang secara parsial menetralkan respons imun. Zat glikosaminoglikan yang serupa dengan asam hialuronat bekerja sebagai faktor antikomplemen. Polisakarida berantai lurus panjang ini melapisi seluruh permukaan luar organisme. Zat tersebut mengganggu daya bunuh bakteri Treponema pallidum melalui jalur komplemen klasik(tergantung antibodi). Disamping itu Treponema pallidum membawa asam sialat pada permukaannya, yang dapat memperlambat aktivasi dan pembunuhan melalui jalur komplemen alternative(tidak tergantung antibodi). Treponema pallidum tampaknya memiliki suatu jalur siklooksigenase yang utuh dan mampu membentuk prostaglandin E2-nya sendiri dan mampu menghambat pemrosesan imun dini dengan cara merangsang kegiatan supresor dari makrofag.
C.    Manifestasi klinik
Manifestasi klinik sifilis bersifat kompleks, serta periode timbulnya masing-masing stadium sangat berbeda. Pada saat jumlah bakteri Treponema meningkat, timbul manifestasi klinik dan apabila jumlahnya berkurang sebagai akibat respon respons hospes yang efektif, maka terjadi periode asimtomatik.
Pembagian sifilis berdasarkan manifestasi klinik
(1)   Masa inkubasi yang berlangsung sekitar 3 minggu
(2)   Stadium primer yang ditandai oleh lesi kulit yang tidak nyeri (chancre) pada tempat infeksi yang terkait dengan limfadenopati regional dan bakteremia dini;
(3)   Stadium bakteremia sekunder atau stadium diseminata yang disertai lesi mukokutan dan limfadenopati umum, sifilis sekunder terjadi sekitar 3 bulan setelah infeksi dan menampilkan dirinya dengan berbagai gejala, terutama lesi pada kulit dan selaput lendir. Ini termasuk ruam umumnya di telapak tangan, telapak kaki, wajah, dan kulit kepala. Rincian dari selaput lendir muncul sebagai tambalan di bibir, di dalam vulva, mulut, dan vagina. Individu yang terinfeksi juga bisa mengalami demam, kehilangan nafsu makan dan kehilangan berat badan selama tahap ini;
(4)   Masa infeksi subklinis (sifilis laten). Meskipun individu yang terinfeksi tidak lagi menunjukkan gejala, pengujian secara serologik menegaskan bahwa T. pallidum tetap ada. Transmisi pada tahap ini melalui kontak seksual jarang. Jika tidak diobati, fase laten akan berlanjut ke fase tersier;
(5)   Pada sejumlah kecil penderita, stadium lanjut atau tersier yang ditandai oleh penyakit yang progresif dan dapat mengenai  hampir seluruh organ tubuh, terutama aorta asendens dan susunan syaraf pusat.
Sifilis Kongenita
Selain manifestasi penyakit di atas, ketiga stadium akibat T. pallidum yang dialami oleh orang dewasa juga mengenai janin. Bila seorang wanita hamil menderita sifilis, baik simtomatik maupun asimtomatik, ia dapat menularkan T. pallidum ke janin melalui plasenta. Penularan terjadi mulai kehamilan minggu ke-10 dan dapat mengenai sebagian besar organ dan jaringan tubuh janin. Beberapa di antara janin yang terifeksi akan mati dalam kandungan atau lahir mati aterm dan sisanya lahir dengan berbagai stigmata sifilitik. Janin lainnya yang lahir hidup ternyata pada masa kanak-kanak akan memperlihatkan tanda sifilis congenital.
Sifilis congenital terdiri dari stadium dini dan stadium lanjut. Stadium dini terutama terjadi pada bayi umur 2-25 minggu. Tehap ini dapat berlangsung tanpa gejala, namun dapat juga menunjukkan gejala yang berhubungan dengan kelainan tulang panjang, misalnya osteokondritis dan periostitis, hepatosplenomegali dan fungsi hati yang abnormal, berat badan bayi rendah, adanya pengeluaran cairan hidung (snuffles), kemerahan berbentuk mekulopapular deskuamatif yang difus (yaitu dengan terkelupasnya epitel secara luas, terutama pada telapak tangan, telapak kaki dan sekitas mulut serta anus), kondiloma lata, anemia, syndrome nefrotik, dan kelainan susunan syaraf pusat.
Sifilis pada penderita HIV
Infeksi HIV dan sifilis yang terjadi bersamaan sering terjadi. Sifilis yang terjadi pada penderita HIV menimbulkan sejumlah masalah unik. Penderita ini lebih berpeluang mengalami perjalanan penyakit yang lebih lama dan ganas seperti gejala konstitusional yang lebih nyata, keterlibatan organ, ruam kulit yang atipik dan neurosifilis, khususnya uveitis, karena HIV memperburuk sistem imunitas selluler. Oleh karena itu, antibiotik yang diberikan haruslah yang bersifat lebih poten dan dalam jangka waktu yang lebih lama. Bakteriostatik seperti doksisiklin atau eritromicin kemungkinan besar tidak adekuat karena adanya gangguan imun.
Penderita yang terinfeksi HIV mungkin menunjukkan titer reaginik yang positif palsu atau yang meningkat meskipun diberikan pengobatan yang adekuat terutama pada stadium dini infeksi HIV ketika stimulasi sel B poliklonal paling banyak terjadi. Mungkin pula terdapat kegagalan untuk menimbulkan respon imun karena adanya beban antigen yang terlalu besar dan atau gangguan fungsi sistem imun yang terjadi pada stadium lanjut penyakit. Akhirnya, antibodi  terhadap antigen kompleks histokompatibilitas utama atau MHC mampu mengikat T. pallidum dan menghasilkan uji serologi positif. Namun demikian hasil ini positif palsu jika yang berikatan dengan Treponema adalah komponen autoimun akibat proses penyakit HIV.


D.    Diagnosis
Diagnosis penyakit sifilis secara pasti dipersulit karena Treponema pallidum belum dapat dibiakkan secara in vitro. Manifestasi klinik, demonstrasi bakteri Treponema pada bahan lesi, dan reaksi serologi digunakan untuk mendiagnosis. Pada sebagian besar kasus, manifestasi klinik sudah cukup khas. Bila manifestasi tersebut mencakup lesi eksudatif, harus dapat ditemukan bakteri Treponema di dalam bahan lesi. Mikroskop lapangan gelap digunakan untuk memvisualisasi organisme motil dan non motil.
Pada mikroskop lapangan gelap, Treponema pallidum akan tampak seperti pembuka tutup botol (corkscrew), dan akan bergerak seperti spiral, undulasi yang khas pada titik tengahnya. Suatu lesi hanya dianggap bersifat non sifilitik bila telah didapatkan hasil negative pada tiga kali pemeriksaan.
Uji serologik untuk sifilis
Uji serologik penting dalam diagnosis, terutama pada kasus dengan manifestasi klinis yang membingungkan atau bila tidak terdapat bahan eksudat. Selama bertahun-tahun telah dikembangkan berbagai uji serologik, yang terbagi dalam dua kelompok umum yaitu:
(1)   Uji non-treponemal (missal VDRL,RPR) bermanfaat untuk penapisan. Agar pemeriksaan dapat memberikan hasil positif maka diperlukan waktu minimum 1-3 minggu dari saat infeksi terjadi. Pemeriksaan biasanya positif pada sifilis primer dan selalu positif pada sifilis sekunder. Meskipun demikian pemeriksaan-pemeriksaan tersebut non spesifik; hasil positif palsu biologik (biasanya 1:8) terjadi pada para pengguna obat intravena, pada banyak infeksi akut(misalnya mononucleosis infeksiosa, infeksi mycoplasma), pada berbagai penyakit kronis (misalnya : lupus erythematosus sistemik) dan kemungkinan kehamilan.
(2)   Uji Treponemal mengukur kadar antibodi yang timbul sebagai respon terhadap komponen antigenic Treponema pallidum. Uji antibody specifik kemungkinannya tinggi apabila ada infeksi Treponemal pada saat ini maupun pada waktu lampau. Contoh uji Treponemal;
a.       Fluorescent Treponema Antibody-Absorbtion (FTA-Abs) Test.
Uji ini menggunakan imuno fluoresensi indirek (Treponema pallidum yang dimatikan+serum penderita+anti gammaglobulin manusia yang berlabel), dan menunjukkan spesifisitas dan sensitifitas yang sangat baik untuk antibody sifilitik, bila serum penderita telah diabsorbsi oleh spirochaeta galur reiter yang disonifikasi sebelum dilakukan uji FTA. Uji FTA-Abs merupakan uji pertama yang menjadi positif pada sifilis stadium dini, dan biasanya tetap positif bertahun-tahun setelah pengobatan yang efektif pada sifilis stadium dini. Uji ini tidak dapat digunakan untuk menentukan efektifitas pengobatan. Keberadaan FTA IgM di dalam darah neonates merupakan bukti yang baik tentang terjadinya infeksi secara in utero (sifilis congenital).
b.      Treponema pallidum Hem Aglutination (TPHA) Test
Sel eritrosit dibuat supaya dapat mengabsorbsi bakteri Treponema pada permukaanya.bila dicampur dengan serum yang mengandung antibodi anti treponemal, eritrosit tersebut akan menggumpal. Uji ini seripa dengan uji FTA-Abs dalam hal spesifisitas dan sensitifitas, tetapi memberikan hasi lpositif dalam perjalanan infeksi yang lebih lanjut.
E.     Pengobatan
Sifilis dapat dirawat dengan penisilin atau antibiotik lainnya. Menurut statistik, perawatan dengan pil kurang efektif dibanding perawatan lainnya, karena pasien biasanya tidak menyelesaikan pengobatannya. Cara terlama dan masih efektif adalah dengan penyuntikan procaine penisilin di setiap pantat (procaine diikutkan untuk mengurangi rasa sakit); dosis harus diberikan setengah di setiap pantat karena bila dijadikan satu dosis akan menyebabkan rasa sakit. Cara lain adalah memberikan kapsul azithromycin lewat mulut (memiliki durasi yang lama) dan harus diamati. Cara ini mungkin gagal karena ada beberapa jenis sifilis kebal terhadap azithromycin dan sekitar 10% kasus terjadi pada tahun 2004. Perawatan lain kurang efektif karena pasien diharuskan memakan pil beberapa kali per hari. (Wikipedia)









BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
            Insidensi penyakit sifilis pada saat ini sedang meningkat pada sebagian besar bagian dunia, kecuali sifilis kongenita dan kasus langka pemaparan okuposional pada tenaga medis. T. pallidum tersebar diseluruh dunia dan terdapat dalam proporsi epidemik hampir di setiap negara.
            Manusia merupakan satu-satunya sumber penyakit infeksi yang sangat menular ini. Pada hampir semua kasus, sifilis ditularkan melalui kontak seksual. Angka infektifitas terkait dengan golongan umur seksual aktif.
B.     SARAN
            Diketahui bahwa sampai saat ini belum beredar vaksin yang dapat mencegah terjadinya penyakit sifilis. Oleh karena itu, tindakan pengendalian bergantung pada pengobatan segera dan adekuat pada semua kasus yang ditemukan. Tindakan pengendalian lainnya yang tidak kalah penting adalah mendidik masyarakat tentang manifestasi klinik dini pada sifilis, sehingga mereka dapat mencari pengobatan sebelum menularkannya pada orang lain.
           




Daftar pustaka
1.      Muliawan, Silvia Y. 2008. Bakteri Spiral Patogen(Treponema, Leptospira, dan Borrelia). Jakarta: Erlangga.
2.      Anonim. 2011. http://id.wikipedia.org/wiki-sifilis, diunduh pada 13 Juni 2011 jam 10:00 WIB
3.      Anonim. 2011. http://microbewiki.kenyon.edu/Treponema-pallidum, diunduh pada 13 Juni 2011 jam 10:15
4.      Woodley,Michelle & Alison Whelan. 1992. Manual of Medical Therapeutics. Departemen of Medicine. Washington University.



2 komentar: