Rabu, 06 Juni 2012

Salmonella sp dan Vibrio cholerae

BAB I Pendahuluan Organisme yang berasal dari genus Salmonella adalah agen bermacam-macam infeksi, mulai dari gastroenteritis yang ringan sampai dengan demam tifoid yang berat disertai bakterimia. Salmonella adalah bakteri berbentuk batang,tidak berspora, pada pewarnaan Gram bersifat gram negative, dan mempunyai flagel peritrik kecuali Salmonella pullorum dan Salmonella galinarum. Demam tifoid adalah suatu infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella Typhi. Insidensi di Indonesia rata-rata 900.000 kasus/tahun dengan angka kematian > 20.000 dan 91% kasus terjadi pada umur 3-19 tahun. Gambaran klinis demam tifoid bervariasi dari ringan sampai berat. Gambaran klinis ringan misalnya demam ringan, malaise, dan batuk kering, sedangkan gambaran klinis yang berat adalah gangguan abdomen (rasa tidak enak di perut) sampai berbagai komplikasi yang berat misalnya perforasi usus. Penelitian di daerah endemis menunjukkan bahwa banyak pasien dengan tifoid, khususnya anak-anak di bawah 5 tahun memiliki penyakit yang tidak spesifik yang tidak dikenali secara klinis sebagai tifoid. Infeksi Salmonella sering terjadi karena mengonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi. Salmonella typhi bisa berada dalam air, es, debu, sampah kering, yang bila organisme ini masuk ke dalam vehicle yang cocok (daging, kerang dan sebagainya) akan berkembang biak mencapai dosis infektif. Maka perlu diperhatikan factor kebersihan lingkungan, pembuangan sampah dan khlorinasi air minum guna mencegah Salmonellosis khususnya deman tifoid. Vibrio cholerae adalah bakteri yang selnya berbentuk batang bengkok seperti koma dengan ukuran 2-4 mikron, bersifat gram negative, berflagel monotrik, dan tidak membentuk spora. Ada dua jenis Vibrio cholerae yang berpotensi sebagai patogen pada manusia. Jenis utama yang menyebabkan kolera adalah Vibrio cholerae O1, sedangkan jenis-jenis lainnya dikenal sebagai non-O1. Vibrio cholerae O1 adaalah penyebab kolera Asiatik atau kolera epidemik. Sebagian besar kasus kolera terjadi di daerah-daerah sub tropis. Kolera selalu disebabkan oleh air yang tercemar atau ikan (atau kerang) yang berasal dari perairan yang tercemar. Kolera merupakan nama penyakit yang disebabkan oleh Vibrio cholerae. Gejala-gejala kolera Asiatik dapat bervariasi dari diare cair yang ringan, sampai diare akut yang ditandai dengan kotoran yang berwujud seperti air cucian beras. Gejala awal penyakit ini umumnya terjadi dengan tiba-tiba, dengan masa inkubasi antara 6 jam sampai 5 hari. Kram perut, mual, muntah, dehidrasi, dan shock (turunnya laju aliran darah secara tiba-tiba). Kematian dapat terjadi apabila korban kehilangan cairan dan elektrolit dalam jumlah besar. Penyakit ini disebabkan karena korban mengkonsumsi bakteri hidup, yang kemudian melekat pada usus halus dan menghasilkan racun kolera. Produksi racun kolera oleh bakteri yang melekat ini menyebabkan diare berair yang merupakan gejala penyakit ini. Kebersihan yang kurang, air yang tercemar, dan cara penanganan makanan yang kurang higienis merupakan penyebab utama infeksi. Karena itu pemanasan air dengan benar (hingga mendidih) dan sanitasi yang baik dapat mencegah infeksi Vibrio cholerae. BAB II Tinjauan Pustaka A. Salmonella sp 1. Klasifikasi Kingdom: Bacteria Phylum : Proteobacteria, Class : Gamma Proteobacteria Ordo : Enterobacteriales family : Enterobacteriaceae Genus : Salmonella Species : Salmonella typhi, Salmonella paratyphi, Salmonella schootmelleri, Salmonella hirsfeldii, Salmonella dublin, Salmonella typhimurium, Salmonella cholera suis, Salmonella enteridis, Salmonella gallinarum, Salmonella pullorum 2. Karakteristik Morfologi: Salmonella merupakan bakteri patogen dari famili Enterobacteriaceae yang memiliki sifat gram negatif berbentuk batang, fakultatif anaerob, tidak melakukan fermentasi laktosa, menghasilkan asam campuran, tidak membentuk acetoin, tidak dapat memanfaatkan urea, dan triptofan sebagai sumber karbonnya, serta memproduksi hidrogen sulfida (Jawetz et al.1974; Madigan et al. 2009). 3. Struktur Antigen Salmonella sp. mempunyai tiga macam antigen utama untuk diagnostik atau mengidentifikasi yaitu : somatik antigen (O), antigen flagel (H) dan antigen Vi (kapsul) (Todar, 2008). Antigen O (Cell Wall Antigens ) merupakan kompleks fosfolipid protein polisakarida yang tahan panas (termostabil), dan alkohol asam (Julius, 1990). Antibodi yang dibentuk adalah IgM (Karsinah et al, 1994). Namun antigen O kurang imunogenik dan aglutinasi berlangsung lambat (Julius, 1990). Maka kurang bagus untuk pemeriksaan serologi karena terdapat 67 faktor antigen, tiap-tiap spesies memiliki beberapa faktor (Todar, 2008). Oleh karena itu titer antibodi O sesudah infeksi lebih rendah dari pada antibodi H (Julius, 1990). Antigen H pada Salmonella sp. dibagi dalam 2 fase yaitu fase I : spesifik dan fase II : non spesifik. Antigen H adalah protein yang tidak tahan panas (termolabil), dapat dirusak dengan pemanasan di atas 60ºC dan alkohol asam (Karsinah et al, 1994). Antigen H sangat imunogenik dan antibodi yang dibentuk adalah IgG (Julius, 1990). Sedangkan Antigen Vi adalah polimer dari polisakarida yang bersifat asam. Terdapat dibagian paling luar dari badan kuman bersifat termolabil. Dapat dirusak dengan pemanasan 60oC selama 1 jam. Kuman yang mempunyai antigen Vi bersifat virulens pada hewan dan mausia. Antigen Vi juga menentukan kepekaan terhadap bakteriofag dan dalam laboratorium sangat berguna untuk diagnosis cepat kuman Salmonella typhi (Karsinah et al, 1994). Adanya antigen Vi menunjukkan individu yang bersangkutan merupakan pembawa kuman (carrier) (Julius, 1990). 4. Sifat Biokimia Salmonella sp. bersifat aerob dan anaerob falkultatif, pertumbuhan Salmonella sp. pada suhu 37oC dan pada pH 6-8. Salmonella sp. memiliki flagel jadi pada uji motilitas hasilnya positif , pada media BAP (Blood Agar Plate) menyebabkan hemolisis. Pada media MC (Mac Conkay) tidak memfermentasi laktosa atau disebut Non Laktosa Fermenter (NLF) tapi Salmonella sp. memfermentasi glukosa , manitol dan maltosa disertai pembentukan asam dan gas kecuali Salmonella typhi yang tidak menghasikkan gas. Kemudian pada media indol negatif, MR positif, VP negatif dan sitrat kemungkinan positif. Tidak menghidrolisiskan urea dan menghasilkan H2S (Julius,1990). 5. Faktor-Faktor patogenitas a. Daya invasi Bakteri Salmonella di usus halus melakukan penetrasi ke dalam epitel, bakteri terus melalui lapisan epitel masuk ke dalam jaringan subepitel sampai di lamina propia. Mekanisme biokimia pada saat penetrasi tidak diketahui dengan jelas tetapi tampak proses yang menyerupai fagositosis. Pada saat bakteri mendekati lapisan epitel, brush border berdegenerasi dan kemudian bakteri masuk ke dalam sel. Mereka dikelilingi membrane sitoplasma yang inverted, seperti vakuola fagositik. Kadang-kadang penetrasi ke dalam epitel terjadi pada intraseluler junction. Setelah penetrasi organisme di fagosit oleh makrofag, berkembang biak dan dibawa oleh makrofag ke bagian tubuh yang lain. b. Antigen Permukaan Kemampuan bakteri Salmonella untuk hidup intraseluler mungkin disebabkan adanya antigen permukaan (antigen Vi). c. Endotoksin Peran pasti endotoksin yang mungkin ada didalam infeksi Salmonella belum jelas diketahui. Pada binatang percobaan endotoksin Salmonella menyebabkan efek yang bervariasi antara lain demam dan syok. Pada sukarelawan manusia yang toleran terhadap endotoksin, di infeksikan dengan Salmonella typhi, maka timbul demam sebagai gejala klasik dari demam tifoid. Mungkin demam ini disebabkan oleh endotoksin yang merangsang pelepasan zat pirogen dari sel-sel makrofag dan sel lekosit PMN. Lebih jauh lagi endotoksin dapat mengaktivasi kemampuan kemotaktik dari system komplemen, yang menyebabkan lokalisasi sel lekosit pada lesi di usus halus. d. Enterotoksin Beberapa species Salmonella menghasilkan enterotoksin yang serupa dengan enterotoksin yang dihasilkan oleh bakteri Enterotoxigenic Escherichia coli baik yang termolabil maupun yang termostabil. Salmonella typhi-murium, S. enteritidis, menghasilkan enterotoksin yang termolabil, toksin diduga berasal dari dinding sel/membrane luar. Aktivitas toksin dapat diukur dengan cara Rabbit ileal loop dan Sucking mouse assay. 6. Gejala Klinis a. Demam Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung tiga minggu. Bersifat febris remiten dan suhu tidak terlalu tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggun ketiga suhu badan berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga. b. Gangguan pada saluran pencernaan Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada saat perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare. c. Gangguan kesaadaran Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah. Disamping gejala-gejala yang biasa ditemukan tersebut, mungkin pula ditemukan gejala lain. Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan roseola, yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit. Biasanya ditemukan dalam minggu pertama demam. Kadang-kadang ditemukan bradikardia pada anak besar dan mungkin pula ditemukan epistaksis. 7. Diagosis Laboratorium a. Specimen Penegakan diagnosa Salmonella dapat menggunakan sampel darah, sumsum tulang, urin, dan faeces. b. Metode diagnosa Tidak adanya gejala-gejala atau tanda yang spesifik untuk demam tifoid, membuat diagnosis klinik demam tifoid menjadi cukup sulit. Di daerah endemis, demam lebih dari 1 minggu yang tidak diketahui penyebabnya harus dipertimbangkan sebagai tifoid sampai terbukti apa penyebabnya. Diagnosis pasti demam tifoid adalah dengan isolasi/kultur Salmonella typhi dari darah, sumsum tulang, atau lesi anatomis yang spesifik. Adanya gejala klinik yang karakteristik demam tifoid atau deteksi respon antibody yang spesifik hanya menunjukkan dugaan demam tifoid tetapi tidak defenitif/pasti. Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk diagnosis demam tifoid yaitu : a) Kultur 1. Kultur Aspirasi Sumsum Tulang Kultur aspirasi sumsum tulang merupakan gold standard untuk diagnosis pasti demam tifoid. Kultur aspirasi sumsum tulang tepat untuk pasien yang sebelumnya telah diobati, long history of illness dan hasil kultur darah negatif. Kultur sumsum tulang positif pada 80-95% pasien demam tifoid bahkan pada pasien-pasien yang telah menerima antibiotik selama beberapa hari. 2. Kultur Feses Kultur feses dapat dilakukan untuk isolasi Salmonella typhi dan khususnya bermanfaat untuk diagnosis carrier tifoid. Isolasi Salmonella typhi dari feses adalah sugestif demam tifoid. 3. Kultur Darah Kultur darah positif pada 60-80% pasien tifoid. Sensitivitas kultur darah lebih tinggi pada minggu pertama sakit dan sensitivitasnya meningkat sesuai dengan volume darah yang dikultur dan rasio darah terhadap broth. Sensitivitas kultur darah dapat menurun karena penggunaan antibiotik sebelum dilakukan isolasi, namun hal ini dapat diminimalisasi dengan menggunakan sistem kultur darah otomatis seperti BacT Alert, Bactec 9050 dengan menggunakan media kultur (botol kultur) yang dilengkapi dengan resin untuk mengikat antibiotik. Beberapa penyebab kegagalan dalam mengisolasi kuman Salmonella typhi adalah : - Keterbatasan media di laboratorium - Konsumsi antibiotic - Volume spesimen yang dikultur - Waktu pengambilan sampel (positivitas tertinggi adalah demam 7-10 hari). Interpretasi hasil: No. Pengujian Hasil Reaksi Reaksi Salmonella sp Positif Negatif 1 Glukosa (TSI) Tusukan kuning Tusukan merah Positif 2 Lysine Decarboxylase(LIA) Tusukan ungu Tusukan ungu Positif 3 H2S (TSI dan LIA) Hitam Tidak hitam Positif 4 Urease Warna ungu sampai merah Tidak ada perubahan warna Negatif 5 Lysine Decarboxylase Broth (LDB) Warna ungu Warna kuning Positif 6 Dulcitol Broth Warna kuning atau ada gas Tidak ada perubahan warna dan gas Positif b 7 KCN Broyh Pertumbuhan Tidak ada pertumbuhan Negatif 8 Malonate Broth Warna biru Tidak ada perubahan warna Negatif C 9 Uji Indol Warna violet pada permukaan Warna kuning pada permukaan Negatif 10 Uji Serologi Polyvalent Flagellar (H) Penggumpalan Tidak ada penggumpalan Positif 11 Uji Serologi Polyvalent Somatic (O) Penggumpalan Tidak ada penggumpalan Positif 12 Lactose Broth Warna kuning atau ada gas Tidak ada perubahan warna dan gas Negatif C 13 Sucrose Broth Warna kuning atau ada gas Tidak ada perubahan warna dan gas Negatif 14 Uji Voges Proskauer (VP) Merah muda sampai merah Tidak ada perubahan warna Negatif 15 Uji Methyl Red (MR) Warna merah menyebar Warna kuning menyebar Positif 16 Simmons Citrate Ada pertumbuhan, warna biru Tidak ada pertumbuhan dan perubahan warna Variabel Catatan: a +, 90% atau lebih positif dalam 1 atau 2 hari; -, 90% atau lebih negatif dalam 1 atau 2 hari; v, variabel b Mayoritas dari kultur Salmonella arizonae: Negatif C Mayoritas dari kultur Salmonella arizonae: Positif Tabel 3. Kriteria untuk kultur non Salmonella No. Pengujian Hasil (non Salmonella) 1 Urease Positif (warna ungu sampai merah) 2 Uji Indol dan Polyvalent Flagellar (H) Positif (warna merah pada permukaan Negatif (tidak ada penggumpalan) 3 LDB dan KCN Negatif (warna kuning) Positif (ada pertumbuhan) 4 Lactose Broth Positif (warna kuning ada gas) a,b 5 Sucrose Broth Positif (warna kuning ada gas) b 6 Uji VP Uji MR Positif (merah muda sampai merah) Negatif (warna kuning menyebar) Dengan: a Uji Malonate Broth positif lebih lanjut untuk menentukan jika biakan tersebut Salmonella arizonae. Lakukan uji Malonate Broth untuk menentukan adanya Salmonella arizonae b Jangan membuang kultur Broth yang positif jika LIA menunjukkan reaksi Salmonella yang khas; lakukan pengujian lebih lanjut untuk menentukan adanya bakteri Salmonella. b) Pemerikasaan Serologi Demam tifoid menginduksi respon imun humoral baik sistemik maupun lokal tetapi respon imun ini tidak dapat memproteksi dengan lengkap terhadap kekambuhan dan reinfeksi. Beberapa pemeriksaan serologi diantaranya: 1. Widal Peran widal dalam diagnosis demam tifoid sampai saat ini masih kontroversial karena sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramalnya sangat bervariasi tergantung daerah geografis. Pemeriksaan widal mendeteksi antibodi aglutinasi terhadap antigen 0 dan H. Biasanya antibodi 0 muncul pada hari ke 6-8 dan H pada hari 10-12 setelah infeksi penyakit. Pemeriksaan pada fase akut harus disertai dengan pemeriksaan kedua pada masa konvalesens. Hasil negatif palsu pemeriksaan widal bisa mencapai 30%. Hal ini disebabkan karena pengaruh terapi antibiotik sebelumnya. Spesifisitas pemeriksaan widal kurang begitu baik karena serotype Salmonella yang lain juga memiliki antigen 0 dan H. Epitop Salmonella typhi juga bereaksi silang dengan enterobacteriaceae lain sehingga menyebabkan hasil positif palsu. Hasil positif palsu juga dapat terjadi pada kondisi klinis yang lain misalnya malaria, typhus bacteremia yang disebabkan oleh organisme lain dan juga sirosis. Didaerah endemis terjadi low background antibody pada populasi sehingga diperlukan cut off yang berbeda antar area. 2. Pemeriksaan Serologi Terbaru Pemeriksaan serologi untuk Salmonella typhi telah banyak berkembang, diantaranya yaitu : a) Tubex® TF (mendeteksi antibodi IgM tehadap antigen 09 IPS Salmonella typhi) b) Typhidot (mendeteksi Antibodi IgG dan IgM terhadap antigen 50 kD Salmonella typhi) c) Typhidot M (mendeteksi antibodi IgM terhadap antigen 50 kD Salmonella typhi) d) Dipstick test (mendeteksi antibodi IgM terhadap antigen LPS Salmonella typhi) c. Teknik Molekular Seperti halnya kultur darah, target dari teknik-teknik molekular adalah patogen itu sendiri sehingga bermanfaat untuk deteksi awal penyakit. Teknik hibridisasi menggunakan probe DMA adalah teknik biologi molekular pertama yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Teknik ini memiliki spesifisitas yang tinggi namun kurang sensitif. Teknik ini tidak dapat mendeteksi Salmonella typhi bila jumlah bakteri < 500 bakteri/mL. Kemudian berkembang teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) dengan spesifisitas dan sensitivitas yang lebih baik (1 -5 bakteri/mL). PCR untuk identifikasi Salmonella typhi ini tersedia di beberapa negara namun penggunaannya masih terbatas untuk penelitian karena harganya yang cukup mahal. Selain itu, diperlukan kehati-hatian dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan teknik molekular termasuk PCR terutama di daerah dengan endemisitas demam tifoid yang tinggi seperti di Indonesia. TUBEX ® TF (ANTI Salmonella typhi IgM) Tubex® TF adalah pemeriksaan diagnostik in vitro semikuantitatif yang cepat dan mudah untuk deteksi demam tifoid akut. Pemeriksaan ini mendeteksi antibodi IgM terhadap antigen 09 LPS Salmonella typhi. Sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan adalah > 95% dan > 93%. Metode pemeriksaan yang digunakan adalah Inhibition Magnetic Binding Immunoassay (IMBI). Antibodi IgM terhadap antigen 09 LPS dideteksi melalui kemampuannya untuk menghambat interaksi antara kedua tipe partikel reagen yaitu indikator mikrosfer lateks yang disensitisasi dengan antibodi monoklonal anti 09 (reagen berwarna biru) dan mikrosfer magnetik yang disensitisasi dengan LPS Salmonella typhi (reagen berwarna coklat). Setelah sedimentasi partikel dengan kekuatan magnetik, konsentrasi partikel indikator yang tersisa dalam cairan menunjukkan daya inhibisi. Tingkat inhibisi yang dihasilkan adalah setara dengan konsentrasi antibodi IgM Salmonella typhi dalam sampel. Hasil dibaca secara visual dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna. Interpretasi Hasil : < 2-3 Negatif Borderline : Tidak menunjukkan infeksi Demam Tifoid Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Lakukan pengambilan darah ulang 3-5 hari kemudian 4-5 Positif : Indikasi infeksi Demam Tifoid > 6 Positif : Indikasi kuat infeksi Demam Tifoid Pemeriksaan Tubex sangat sensitif dan spesifik untuk deteksi demam tifoid. Hal ini disebabkan karena penggunaan antigen 09 LPS yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut: 1. Immunodominan dan kuat 2. Antigen 09 (atau LPS secara umum) bersifat thymus independent type 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi dan H kurang imunogenik), dan merupakan mitogen yang sangat kuat terhadap sel B. 3. Antigen 09 dapat menstimulasi sel-sel B tanpa bantuan sel T (tidak seperti antigen-antigen protein) sehingga respon anti-09 dapat terdeteksi lebih cepat. 4. LPS dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan cepat melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor lain (Toll like receptor 4) 5. Spesifisitas yang tinggi (>90%) karena antigen 09 yang sangat jarang ditemukan baik di alam ataupun di antara mikroorganisme. 8. Pencegahan dan Pengobatan 1. Pencegahan a. Cuci tangan. Cuci tangan dengan teratur merupakan cara terbaik untuk mengendalikan demam tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan dengan air (diutamakan air mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak tersedia air. b. Hindari minum air yang tidak dimasak. Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemic tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Usap seluruh bagian luar botol atau kaleng sebelum membukanya. Minum tanpa menambahkan es di dalamnya. Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak menelan air di pancuran kamar mandi. c. Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah. Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada yang telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut. Untuk menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah dan sayuran tersebut dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran tersebut masih segar atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak segar sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci, pilihlah buah yang dapat dikupas. d. Pilih makanan yang masih panas. Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang. Yang terbaik adalah makanan yang masih panas. Walaupun tidak ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari membeli makanan dari penjual di jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi. Cara utuk mencegah penularan demam tifoid dari pasien yang baru sembuh kepada orang lain: a. Sering mencuci tangan. Ini adalah cara penting yang dapat dilakukan untuk menghindari penyebaran infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir) dan sabun, kemudian gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama sebelum makan dan setelah menggunakan toilet. b. Bersihkan alat rumah tangga secara teratur. Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali sehari. c. Hindari memegang makanan. Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata bahwa tidak berpotensi menularkan lagi. Jika bekerja di industry makanan atau fasilitas kesehatan maka tidak boleh kembali bekerja sampai hasil tes memperlihatkan tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella. d. Gunakan barang pribadi yang terpisah. Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk diri sendiri dan cuci dengan menggunakan air dan sabun. Pencegahan secara khusus dilakukan dengan imunisasi yang di Indonesia tersedia seperti : a. Vaksin oral Ty 21a Vaksin yang mengandung /Salmonella typhi /galur Ty 21a. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum selang sehari dalam 1 minggu, 1 jam sebelum makan. Vaksin ini dikontraindikasikan pada wanita hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam, sedang minum antibiotik, dan anak kecil 6 tahun. Lama proteksi dilaporkan 5 tahun. b. Vaksin parenteral sel utuh Vaksin ini mengandung sel utuh (Salmonella typhi )yang dimatikan yang mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa 0,5 mL; anak 6-12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping yang dilaporkan adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan. Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan riwayat demam pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi, mengingat efek samping yang ditimbulkan dan lama perlindungan yang pendek. c. Vaksin polisakarida Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella. Mempunyai daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun. Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25 mikrogram antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular dan diperlukan pengulangan (booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2 tahun. 2. Pengobatan Pengobatan dilakukan dengan menerapkan trilogi penatalaksanaan demam tifoid/paratifoid, yaitu: a. Istirahat dan perawatan Tirah baring Perawatan: kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Bagi yang merawat: perlu diperhatikan bahwa penyakit ini menular sehingga perlu memperhatikan pembuangan tinja dan urin pasien, serta harus menjaga kebersihan pribadi. b. Diet dan terapi penunjang Prinsipnya adalah memberikan makanan yang nyaman dan dapat memulihkan kesehatan pasien secara optimal. Nyaman disini adalah nyaman bagi kondisi saluran cerna, yaitu makanan yang mudah dicerna dan bergizi, serta tidak menimbulkan iritasi saluran cerna, serta nyaman bagi mulut pasien. c. Pemberian Antibiotika - Kloramfenikol. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg perhari, dapat diberikan secara oral atau intravena, sampai 7 hari bebas panas. - Tiamfenikol. Dosis yang diberikan 4 x 500 mg per hari. - Kortimoksazol. Dosis 2 x 2 tablet (satu tablet mengandung 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim). - Ampisilin dan amoksilin. Dosis berkisar 50-150 mg/kg BB, selama 2 minggu. - Sefalosporin Generasi Ketiga. dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc, diberikan selama ½ jam per-infus sekali sehari, selama 3-5 hari. - Golongan Fluorokuinolon Norfloksasin : dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari Siprofloksasin : dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari Ofloksasin : dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari Pefloksasin : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari Fleroksasin : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari - Kombinasi obat antibiotik. Hanya diindikasikan pada keadaan tertentu seperti: Tifoid toksik, peritonitis atau perforasi, syok septic, karena telah terbukti sering ditemukan dua macam organisme dalam kultur darah selain kuman Salmonella typhi/paratyphi. B. Vibrio cholera 1. Taksonomi Kingdom : Bacteria Divisio : Proteobacteria Class : Gamma-proteobacteria Ordo : Vibrionales Family : Vibrionaceae Genus :Vibrio Species :Vibro cholerae 2. Karakteristik Morfologi dan sifat - Bersifat Gram Negatif - Bakteri batang bengkok seperti koma, berukuran 2-4 mikron - Gerak sangat aktif dengan adanya flagel monotrik - Tidak membentuk spora - Pada biakan lama, dapat menjadi berbentuk batang lurus Sifat biakan - Koloni berbebentuk bulat, cembung, smooth, opak, dan tampak granuler; tes oksidase positif - Bersifat aerob atau anaerob fakultatif - Suhu optimum 37C (18-37C) - pH optimum 8,5 – 9,5. Tidak tahan asam. Bila dalam media terdapat karbohidrat yang dapat diragi maka bakteri akan mati. - Tumbuh baik pada media yang mengandung garam mineral dan aspargin sebagai sumber karbon dan nitrogen. Contoh : Agar Alkaline taurocholate tellurite dan Agar thiosulfate citrate bilesalt sucrose (TCBS) - Meragi sukrosa dan manosa tanpa menghasilkan gas, tidak meragi arabinosa. - Meragi nitrat. Pada medium pepton (banyak mengandung triptofan dan nitrat) akan membentuk indol, yang dengan asam sulfat akan membentuk warna merah (tes indol positif) - Reaksi nitroso indol (merah kolera) positif. Tes ini dapat dihambat oleh glukosa. 3. Toksin dan Enzim Toksin dan enzim yang dihasilkan oleh vibrio cholera adalah: - Enterotoksin yang tidak tahan asam dan panas. BM 90.000 - Menyebabkan peningkatan aktivitas adenilsiklase dan konsentrasi AMP siklik serta hipersekresi usus kecil sehingga menyebabkan diare massif dengan kehilangan cairan mencapai 20 liter per hari pada kasus berat. - Vibrio biotip El Tor menghasilkan : soluble hemolysin yang dapat melisiskan sel darah merah - Struktur antigen: a. Antigen flagel H; bersifat heat labile. Antibodi terhadap antigen H tidak bersifat protektif. Pada uji aglutinasi berbentuk awan. b. Antigen somatic O; terdiri dari lipopolisakarida. Pada reaksi aglitinasi berbentuk seperti pasir. Antibody terhadap antigen O bersifat protektif. Vibrio cholera serogrup O1 terdiri dari dua biotipe yaitu Vibrio klasik dan Vibiro El Tor dan yang terdiri dari serotipe Inaba, Ogawa dan Hikojima (jarang ditemui).Vibrio cholera O139 juga menyebabkan kolera tipikal.Gambaran klinis dari penyakit yang disebabkan oleh Vibrio cholera O1 dari kedua biotipe dan yang disebabkan oleh Vibrio cholera O139 adalah sama karena enterotoksin yang dihasilkan oleh organisme ini hampir sama - Enzim mucinase yang berfungsi untuk mencairkan lapisan lendir yang menutupi mukosa usus. 4. Patogenesis Vibrio cholera dalam keadaan normal hanya pathogen terhadap manusia. Bakteri ini tidak bersifat invasive, bakteri tidak pernah masuk ke dalam sirkulasi darah, tetapi terlokalisasi di usus. Infeksi dimulai pada saat bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui rute gastrointestinal. Sesampainya di lambung, bakteri akan dibunuh oleh asam lambung, tetapi apabila jumlah bakteri cukup banyak, ada bakteri yang dapat lolos sampai ke dalam duodenum. Di dalam duodenum,bakteri akan berkembang biak sehingga jumlahnya mencapai 100 juta koloni atau lebih per mili liter cairan usus halus. Dengan memproduksi enzim mucinase, bakteri akan mencairkan lapisan lendir yang menutupi permukaan sel epitel mukosa usus sehingga bakteri dapat masuk ke dalam membran sel epitel mukosa. Bakteri adan menghasilkan toksin cholera (enterotoksin) dan endotoksin. Toksin cholera diserap di permukaan gangliosida sel epitel dan merangsang hipersekresi air dan klorida dan menghambat absorbs natrium. Akibat kehilangan banyak cairan dan elektrolit, terjadi dehidrasi, asidosis, syok, dan jika tidak segera ditangani akan menyebabkan kematian. 5. Gejala Klinis Gejala-gejala kolera Asiatik dapat bervariasi dari diare cair yang ringan, sampai diare akut yang ditandai dengan kotoran yang berwujud seperti air cucian beras. Gejala awal penyakit ini umumnya terjadi dengan tiba-tiba, dengan masa inkubasi antara 6 jam sampai 5 hari. Kram perut, mual, muntah, dehidrasi, dan shock(turunnya laju aliran darah secara tiba-tiba). Kematian dapat terjadi apabila korban kehilangan cairan dan elektrolit dalam jumlah besar. Penyakit ini disebabkan karena korban mengkonsumsi bakteri hidup, yang kemudian melekat pada usus halus dan menghasilkan racun kolera. Produksi racun kolera oleh bakteri yang melekat ini menyebabkan diare berair yang merupakan gejala penyakit ini. Angka kematian jika tanpa mengalami pengobatan adalah sebesar 25-50%. 6. Diagnosis Laboratorium a. Specimen Bahan pemeriksaan yang dapat digunakan adalah faeces dan muntahan penderita b. Sediaan Apus Gambaran mikroskopis sediaan apus yang diambil dari sampel feses tidak khas. Mikroskop lapangan gelap atau fase kontras dapat menunjukkan adanya Vibrio sp yang bergerak dengan cepat. c. Biakan Tes Laboratorium dapat dilakukan dengan mengisolasi bakteri dengan menggunakan media: - Agar pepton - Agar darah dengan pH 9,0 - TCBS - Penanaman bakteri Vibrio pada media APW diperoleh hasil yaitu terjadi perubahan warna dari kuning bening menjadi keruh serta timbul letupan gas kecil. Hal ini diartikan bahwa bakteri Vibrio cholera tumbuh dalam media tersebut, karena media ini digunakan untuk pertumbuhan bakteri Vibrio cholera yang mempunyai pH alkali (8,5-9,5) dan mengandung natrium carbonat sebagai sumber nutrisi. - Pemupukan bakteri Vibrio pada media TCBS agar yang mengandung NaCl 3 % adalah suatu media yang paling tepat untuk mengisolasi Vibrio cholera dan Vibrio sp lainnya(Conroy, 1984). Media TCBS mempunyai pH yang sangat tinggi (8,5-9,5) yang dapat menekan pertumbuhan flora usus selain Vibrio sp. Kandungan utama terdiri dari protein nabati dan hewani, campuran garam (bile salts), 1% Sodium Chlorida, Sodium Thiosulfate, Ferric Citrat, Sukrosa dan ekstrak kapang. Sukrosa ditambahkan sebagai bahan karbohidrat yang dapat difermentasi oleh Vibrio dan sodium chlorida dapat merangsang pertumbuhan Vibrio dengan indikator campuran Bromothymol blue dan Thymol blue. Perubahan warna hijau menjadi kuning terjadi karena pH media bersifat basa kuat. Vibrio cholera menghasilkan koloni berwarna kuning pada media TCBS Agar disebabkan karena bakteri tersebut memfermentasi sukrosa. - Uji biokimiawi menggunakan media TSIA, SIM, dan Simon Citrat. Pada media TSIA Vibrio cholerae menghasilkan asam (warna kuning) pada agar miring, asam (warna kuning) pada agar tegak dan tidak mengasilkan gas serta H2S. Untuk uji motil pada medium semi solid ternyata positif, hal ini menandakan bahwa - bakteri Vibrio cholera dapat bergerak karena adanya flagel dan tidak mengalami perubahan pada medium simon citrat (warna tetap berwarna hijau). d. Uji Specifik Dan dapat ditunjang dengan pemeriksaan : - Tes aglutinasi mikroskopis yang menggunakan antiserum anti O grup 1 - Reaksi merah cholera dengan penambahan asam sulfat maka akan timbul warna merah (reaksi nitrosos-indol). 7. Pencegahan dan Pengobatan Pencegahan: Kebersihan yang kurang, air yang tercemar, dan cara penanganan makanan yang kurang higienis merupakan penyebab utama infeksi. Karena itu pemanasan air dengan benar (hingga mendidih) dan sanitasi yang baik dapat mencegah infeksi Vibrio cholerae. Pengobatan: Prinsip pengobatan diare ada dua, pertama mencegah jangan sampai dehidrasi dengan oralit (elektrolit) dan banyak minum (rehidrasi). Dua, atasi penyebab diare dengan antibiotik, Tetrasiklin dapat digunakan karena membantu mempersingkat masa pemberian cairan (rehidrasi). Daftar Pustaka 1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2006. Tropik Infeksi, FK UI. Jakarta 2. Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC. 3. Mansjoer A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. 2000. 4. Staf pengajar FK UI. 1994.Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : Binarupa Aksara 5. Roesdiana ramli. 2012. Demam Tifoid (Tifus), Manifestasi klinis dan Penanganannya. http://www.infokedokteran.com/info-penyakit/gejala-klinis-demam-tifoid.html\diakses 12 April 2011 6. Ainul Hikmah. 2011. ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI Vibrio cholerae PADA KERANG DI TEMPAT PELELANGAN IKAN (TPI) WILAYAH SIDOARJO. http://www.fkh.unair.ac.id/artikel/Ainul%20060710372.pdf Diaskses 12 April 2012.